Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SELF, Pondasi Kesehatan Mental Di Tengah Riuhnya Digitalisasi

Editor : GusWawan | 16.00 wib
Dok newspantau/istimewa.
Dr. Lia Istifhama, M.E.I., wakil sekretaris MUI Jatim.
----------------------------------------------------
Surabaya, newspantau.com --Istilah kesehatan mental atau mental health, cukup ramai diperbincangkan saat ini, mengingat banyaknya peristiwa yang dihadapi seseorang terkait masalah dalam kesehatan mental. Perbincangan perihal kesehatan mental, cukup intens diperbincangkan oleh banyak pihak, seiring dengan berkembangnya trend bersosial media secara revolusioner.

Melansir WHO, kesehatan mental adalah kondisi sejahtera seseorang, ketika seseorang menyadari kemampuan dirinya, mampu untuk mengelola stres yang dimiliki serta beradaptasi dengan baik, dapat bekerja secara produktif, dan berkontribusi untuk lingkungannya. Kesehatan mental merupakan dasar yang penting bagi seseorang karena kesehatan mental akan mempengaruhi sikap diri seseorang, yaitu mencakup cara pandang terhadap dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sekitar.

Dalam berbagai literatur, dijelaskan beberapa penyebab masalah kesehatan mental, antara lain: (1) Tekanan/masalah dalam kehidupan sehari-hari: pekerjaan, pertemanan, keluarga; (2) Trauma dan kehidupan masa kecil yang kurang menyenangkan; (3) Tidak memiliki support system; (4) Perubahan fisik; (5) Adanya masalah fisik yang serius; (6) Gaya hidup yang tidak sehat; dan (7) Memiliki keluarga yang mengalami masalah kesehatan mental.

Beberapa hal diatas, jika dialami seseorang, dapat berpotensi menciptakan ‘mental breakdown’, bahkan ‘mental disorder’. Mental breakdown atau mental disorder tersebut, sangat penting untuk menjadi perhatian kita semua karena berkaitan dengan mental generasi muda penerus bangsa. 

Oleh sebab itu, penting untuk dibangun upaya-upaya menjaga kesehatan mental, terutama di tengah riuhnya perkembangan digital yang diwarnai beragam konten saat ini. sedangkan, tidak semua konten menyajikan hal positif. Bahkan tidak sedikit yang secara terang-terangan mengandung unsur negatif, karena konten yang cenderung negatif, terkadang lebih mudah menyita perhatian publik. Dengan kata lain, menjadi konten viral.

Beragam masalah yang timbul akibat sikap tidak bijak pada perkembangan digital, menjadi alasan munculnya sebuah gagasan, yaitu ‘SELF. ‘SELF’ disini adalah paduan unsur kalimat yang bermakna karakter diri agar mampu menjaga kesehatan mental, dan sebaliknya, menjadi bentuk ikhtiar mengantisipasi problem kesehatan mental. 

Karakter ‘SELF’, terdiri dari 4 unsur, yaitu ‘Sosial Media bukan akuarium hidupmu’, ‘Empati pada orang lain’, ‘Luangkan waktu bersama orang terkasih’, dan ‘Fokus pada apa yang kau miliki’.

Sosial Media bukan akuarium hidupmu. 

Seperti dijelaskan di atas, bahwa salah satu penyebab masalah kesehatan mental adalah gaya hidup yang tidak sehat. Gaya hidup saat ini banyak dipengaruhi oleh revolusi teknologi digital, terutama dalam hal komunikasi atau interaksi sosial yang didominasi oleh sosial. 

Dominannya sosial media (sosmed) dalam kehidupan nyata, tidak selalu diikuti dengan perilaku bijak para penggunanya. Bahkan tidak sedikit yang tidak bijak dalam menggunakan sosmed. Sebagai contoh, menjadikan sosmed sebagai bentuk aktualisasi diri secara berlebihan (hiperbola), bahkan mengabaikan privasi kehidupan pribadinya akibat menjadikan sosmed sebagai akuarium hidupnya.

Sedangkan, menjadikan sosmed sebagai akuarium, akan menjadi indikator problem psikologi seseorang. Sebagai contoh, pengguna sosmed yang tidak bijak tersebut, akan selalu memikirkan konten sosmed yang dianggapnya menambah popularitas diri, namun mengabaikan dampak negatif, yaitu kehilangan fokus untuk berkarya atau bekerja yang secara nyata memberikannya penghasilan. Dampak berikutnya jika tidak bijak, seseorang terjebak dalam perasaan harus ‘melaporkan’ apapun yang dilakukannya setiap waktu kepada para teman sosmed-nya, sehingga melupakan bahwa setiap manusia membutuhkan ruang privasi.

Masalah krusial akan berpotensi muncul tatkala pengguna tersebut memiliki permasalahan hidup, dan secara tidak langsung menampilkan permasalahan tersebut dalam laman sosmed pribadinya sehingga dikonsumsi oleh publik. Hal ini tentu berpotensi memicu pro kontra bagi orang lain yang mengamatinya, bahkan berpotensi menghilangkan empati dari orang lain atau jutsru memicu pembullyan pada orang tersebut. 

Untuk meminimalisir segala potensi negatif akibat sosmed, maka perlu kita bangun mindset: ‘stop menjadikan sosmed sebagai akuarium hidup’.
 
Empati pada orang lain.

Seperti dijelaskan di atas, bahwa salah satu penyebab masalah kesehatan mental adalah tekanan atau masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengatasi masalah tersebut, seseorang harus memiliki empati atau peduli. 

Membentuk empati, hal pertama yang harus dipahami adalah menyadari bahwa setiap manusia bukanlah pemilik kesempurnaan sehingga tidak ada satupun manusia yang dapat menghindari masalah. Kesadaran atas hal ini tentunya dipengaruhi faktor diri sendiri, yaitu apakah seseorang memiliki iman yang cukup sehingga menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa seperti lainnya, yang kesemunya sama-sama makhluk ciptaan Allah SWT.

Dengan begitu, kita harus belajar dari orang lain, bagaimana cara mereka menemukan resiliensi atau solusi dari masalah yang dihadapi, bahkan bangkit dari keterpurukan. Empati kemudian menyadarkan kita bahwa masalah yang kita hadapi, seyogyanya juga dihadapi oleh orang lain, meskipun dengan cara dan bentuk berbeda. Hal ini akan menjadi motivasi diri untuk membangun resiliensi diri.

Luangkan waktu bersama orang terkasih.

Penyebab lain atas masalah kesehatan mental adalah karena seseorang tidak memiliki support system, yaitu seseorang yang memberi kita kekuatan secara emosional saat kita berada dalam kondisi psikologi kurang baik. Sebagai contoh, saat kita mengalami stres atau kecemasan, maka yang kita butuhkan adalah tempat berbagi dan menggali saran serta motivasi dari orang lain. 

Peran penting keluarga dalam kehidupan seseorang, tentunya telah diterangkan oleh agama. Islam diantaranya, yang menerangkan dalam sebuah hadis, bahwa: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dengan memiliki circle (jaringan sosial), yaitu interaksi sosial yang terjalin baik antara seseorang dengan keluarga, baik itu keluarga yang terbentuk atas ikatan darah maupun keluarga yang terbentuk karena hubungan sosial (dijelaskan oleh Pierre Bourdieu sebagai institution as a relative), maka seseorang akan memiliki support system yang baik saat ditimpa masalah.

Fokus pada apa yang kau miliki.

Hal penting lainnya dalam kata SELF yang diharapkan menjadi penguat kesehatan mental, adalah preferensi diri agar selalu memilih ‘fokus pada diri sendiri dan apa yang dimiliki’. Preferensi diri tersebut, tentu bertujuan membentuk rasa syukur dan motivasi diri, yang mana semua agama menganjurkan pentingnya rasa syukur. Islam diantaranya, menjelaskan dalam sebuah hadis, bahwa: 

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah kepada yang lebih rendah (dalam urusan dunia) darimu dan janganlah kamu melihat terhadap orang yang lebih tinggi. Hal itu lebih baik bagimu agar kamu tidak menganggap rendah nikmat Allah atasmu.” (Kitab Hadis Bulughul Maram).

Dengan begitu, Islam menekankan pentingnya sikap syukur sebagai ikhtiar membentuk kebahagiaan seseorang. 

Jika disimpulkan, maka karakter ‘SELF’ yang telah diurai di atas, menjadi harapan agar kita yang sekarang berada di tengah riuhnya perkembangan digitalisasi, senantiasa menjadi pribadi yang mampu mencintai diri sendiri dan menjaga kesehatan mental dengan cara selalu berdamai dengan semua masalah yang kita hadapi.

Akhir kata, hadapi masalah, bukan hindari. Dan tetaplah berusaha membangun resiliensi diri karena setiap masalah diri membutuhkan solusi. *** 
@gus