Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Senator Ning Lia Diskusi Lesehan Pasca Kebakaran Grahadi, Gandeng Ditintelkam Polda Jatim Kombes Pol Nanang Juni Mawanto

Editor : Andi SHM | 09.30 wib
Senator Ning Lia Diskusi Lesehan Pasca Kebakaran Grahadi, Gandeng Ditintelkam Polda Jatim Kombes Pol Nanang Juni Mawanto.

Jawa Timur, NewsPantau.com -- Seperti diketahui, terbakarnya Gedung Negara Grahadi yang merupakan cagar budaya sarat sejarah pada 30/8/25 malam lalu, menjadi keprihatinan yang mendalam dan luka public yang belum juga sembuh. 

Tentu, sosok Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, dan Wakil Gubernur Jatim, Emil Elistianto Dardak, menjadi dua pemimpin yang merasakan duka mendalam. Grahadi bukan semata tempat bekerja bagi orang nomer satu serta kedua di propinsi Bumi Majapahit ini, melainkan sisa peninggalan sejarah bagaimana Indonesia terbangun dari waktu ke waktu.

Menelisik penelusuran sejarah, Gedung Grahadi di Surabaya awalnya adalah rumah peristirahatan mewah (tuinhuis) yang dibangun pada tahun 1795 oleh Residen Belanda, Dirk van Hogendorp. Setelah berbagai renovasi dan pergantian fungsi, gedung ini menjadi pusat pemerintahan kolonial, lalu rumah dinas dan kantor Gubernur Jawa Timur pasca-kemerdekaan. Gedung ini menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah penting, termasuk perundingan Soekarno dengan Sekutu di masa revolusi

Dan kini, potret fisik Grahadi mengalami perubahan pasca aksi brutal massa yang membakar dan melakukan penjarahan pada bagian tertentu Gedung negara tersebut. Peristiwa yang sama pada kantor Polsek Tegalsari Surabaya yang juga cagar budaya dengan sejarah tak ternilai.

Beberapa waktu lalu, Khofifah mengungkapkan, renovasi yang dilakukan tidak akan mampu mengembalikan bentuk Grahadi seperti semula. Beberapa detail arsitektur, seperti relief dan ornamen langit-langit, sulit direplikasi dengan keaslian yang sama.  Menurutnya dampak kerusakan di Gedung Negara Grahadi tak ternilai harganya, karena bangunan ini bersejarah dan merupakan cagar budaya.

“Bisa dibangun kembali, tapi tidak bisa dijamin 100 persen sama dengan aslinya. Relief-relief dan ceiling-nya punya nilai sejarah yang unik. Meski ada teknik arsitektur untuk membuat replikasi, tapi hasilnya tidak akan sama dengan bangunan awal,” kata Khofifah di Surabaya, Rabu (3/9).

Kesedihan Khofifah itu mendapat perhatian serius publik, salah satunya yang tertuang dalam diskusi lesehan antara Ditintelkam Polda Jatim, Kombes Nanang Juni Mawanto, dengan Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, Jumat, 12/9/25. 

Dari obrolan di rumah sederhana kediaman ning Lia, muncul dorongan perubahan aturan terkait lokasi demonstrasi, dalam hal ini pembatasan bahkan pelarangan aksi demonstrasi di kawasan cagar budaya. Hal ini disampaikan ning Lia pasca diskusi dengan Dirintelkam Polda Jatim.

Doktoral UINSA itu menjelaskan, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memang menjamin kebebasan warga untuk berdemonstrasi. Namun, UU tersebut juga memberi batasan lokasi, seperti larangan unjuk rasa di istana presiden, tempat ibadah, rumah sakit, hingga objek vital nasional.

“Undang-undang ini memang sudah mengatur larangan membawa benda berbahaya dan aksi pada hari besar nasional. Tetapi belum secara tegas menyebut cagar budaya. Padahal, banyak kantor pemerintahan yang menempati gedung bersejarah sehingga berpotensi jadi sasaran jika tidak dilarang tegas. Meski, diksi objek vital nasional seharusnya mengacu pada cagar budaya, namun ternyata hal ini belum dipahami sebagai kesepahaman bersama.”

Senator yang baru-baru ini meraih survey tertinggi tingkat popularitas dan kesukaan Wakil Rakyat di Jawa Timur versi Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI) tersebut, juga menyayangkan jika monumen bersejarah tidak dilindungi oleh aturan yang tegas.

“Kita bisa melihat negara lain, seperti Rumania, di mana cagar budaya di pusat kota maupun pinggiran tetap terawat dan dijaga sebagai ikon bangsa. Apakah faktor publik yang sangat menghormati bangunan bersejarah sehingga menjadi sebuah konsensus atau pemahaman bersama untuk selalu merawat dan menjaga ataukah memang ada aturan yang tegas seperti larangan melakukan aksi demonstrasi di depan cagar budaya?”

“Poinnya, jika upaya melindungi cagar budaya tidak bisa menjadi kesadaran umum, maka perlu intervensi pemerintah melalui perubahan aturan, yaitu dengan meletakkan diski larangan demonstrasi di depan cagar budaya,” tegas Putri KH Maskur Hasyim itu.

“Cagar budaya adalah saksi sejarah perjalanan bangsa. Sekali rusak, memori yang hilang tidak bisa digantikan. Karena itu, saya mendorong lahirnya aturan tegas, baik revisi UU maupun RUU baru, yang melarang aksi demonstrasi di kawasan cagar budaya,” tegas politisi cantik asal Jatim tersebut.

Sedangkan terkait aksi demo untuk menyampaikan pendapat umum, ning Lia tidak menampik bahwa hal itu sebagai wajah demokrasi.

“Sebagai negara demokrasi, kesempatan menyampaikan pendapat di muka umum adalah keniscayaan. Saya sendiri, dua kali turut ikut berorasi dalam aksi demo beberapa tahun lalu. Namun saya selalu menekankan pada diri sendiri, bahwa apapun yang kita suarakan, harus suara yang bersifat transformasi kebaikan, bukan provokasi, karena negara ini harus kita jaga tertib damainya. Soal apapun yang tidak tepat, maka harus diktirik secara tepat, jangan menimbulkan masalah baru, salah satunya tolak oknum yang merusak nilai awal sebuah aksi.”

Tidak hanya itu, Ning Lia juga meminta aparat kepolisian untuk mengusut tuntas dalang perusakan Gedung Negara Grahadi. Menurutnya, penghukuman maksimal harus diberikan pada dalang kerusuhan demi efek jera sekaligus bentuk penghormatan terhadap warisan sejarah bangsa.

“Saya berharap dalang utama segera diketahui, ditangkap dan mendapat sanksi sosial dari masyarakat, selain law enforcement melalui penindakan hukum oleh kepolisian. Karena ulah keji provokator, sangat merusak warisan sejarah sekaligus mencuci otak anak-anak yang terlibat kerusuhan. Bagi saya, ini sudah bagian kejahatan kemanusiaan,” pungkasnya.  *** @andi/nurf