Jaga Kelestarian Raja Ampat, Anggota DPD RI Lia Istifhama Apresiasi Menteri Bahlil Cabut IUP di Papua Barat Daya
Editor : Andi SHM | 19.00 wib
Kanan: Dr. Lia Istifhama anggota komite III DPD RI dan Menteri Bahlil saat di Raja Ampat Papua Barat Daya.
NewsPantau.com -- Upaya menjaga kelestarian lingkungan di Papua, khususnya di kawasan sensitif Raja Ampat, kembali mendapat apresiasi positif. Anggota DPD RI Komite III, Dr. Lia Istifhama, mengapresiasi langkah tegas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang telah mencabut 4 dari 5 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Menurut Ning Lia sapaan akrab Lia Istifhama keputusan strategis ini dinilai sebagai bukti hadirnya negara dalam merespons tuntutan masyarakat lokal yang selama ini khawatir terhadap potensi kerusakan ekologi akibat aktivitas pertambangan di salah satu kawasan paling kaya biodiversitas di dunia tersebut.
Senator asal Jatim Lia Istifhama menilai pencabutan IUP tersebut sejalan dengan aspirasi luas masyarakat Papua dan aktivis lingkungan yang menilai kawasan konservasi seperti Raja Ampat harus dikelola dengan pendekatan kehati-hatian.
“Kalau ada pencabutan izin, tentu itu memenuhi harapan masyarakat yang sejak lama meminta penertiban tambang di Raja Ampat.
Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola pertambangan sekaligus mengapresiasi suara publik,” ujar Ning Lia sapaan akrabnya di sela-sela kunjungan kerja ke Papua.
Ning Lia menambahkan langkah pemerintah ini penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sempat goyah akibat berbagai isu negatif terkait tata kelola tambang di Papua.
“Langkah penertiban ini sekaligus menjadi dasar bahwa keberlanjutan ekonomi nasional harus berjalan beriringan dengan keberlanjutan ekologi, terutama di kawasan konservasi dunia seperti Raja Ampat,” jelas senator yang didapuk Wakil Rakyat Terpopuler dan Paling Disukai versi ARCI 2025 tersebut.
Raja Ampat dikenal sebagai daerah dengan biodiversitas laut terbesar di dunia, dengan lebih dari 600 spesies terumbu karang dan 1.700 spesies ikan. Kerusakan ekologis sekecil apa pun dapat berdampak jangka panjang pada keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal yang bergantung pada pariwisata alam. Karena itu, menurut Ning Lia, kebijakan pemerintah harus berpijak pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle), pengelolaan berbasis data ilmiah, dan pelibatan masyarakat adat Papua.
Putri KH Maskur Hasyim itu menegaskan komitmen DPD RI untuk terus mendorong pemerintah memperkuat pengawasan IUP, penyempurnaan tata kelola minerba, serta menjaga keseimbangan antara investasi dan kelestarian alam. “Kebijakan ini tidak hanya soal mencabut izin, tetapi memastikan bahwa Papua tetap menjadi paru ekologi Indonesia Timur dan warisan bagi generasi mendatang,”kata senator yang beberapa waktu lalu peraih DetikJatim Awards 2025 itu.
Sekedar diketahui, dari lima IUP di Raja Ampat, satu izin masih diberikan kepada PT Gag Nikel, anak perusahaan PT Antam. Keberlanjutan izin tersebut didasarkan pada kajian kelayakan lingkungan dan legalitas yang memenuhi syarat.
PT Gag Nikel merupakan konsesi lama sejak era 1970-an, jauh sebelum Bahlil menjabat menteri ataupun sebelum kewenangan perizinan ditarik ke pemerintah pusat melalui PP No. 22/2021 tentang PPLH.
Dengan terbitnya PP tersebut, evaluasi seluruh IUP dilakukan secara nasional, termasuk di Raja Ampat. IUP yang masih bertahan dinilai telah memenuhi standar ketat, mulai dari AMDAL hingga persetujuan lingkungan.
“Kalau semua peraturan dipenuhi, secara hukum tidak ada masalah. Permasalahan hanya muncul ketika tidak memenuhi dokumen AMDAL, karena itu konsekuensi hukum. Masyarakat juga terlibat dalam proses AMDAL melalui konsultasi publik,” kata Menteri Bahlil beberapa waktu lalu.
Menteri Bahlil menegaskan isu yang mencoba mengaitkan penerbitan IUP di Raja Ampat dengan dirinya adalah tidak berdasar. “Ibu saya dan ayah saya saja belum bertemu, barang ini sudah ada. Saya belum ada di muka bumi, tapi dikaitkan seolah-olah saya yang urus,” tegas Bahlil.
Ia menjelaskan, empat IUP yang dicabut merupakan izin yang diterbitkan pada tahun 2004 oleh pemerintah daerah rezim sebelum kewenangan perizinan dipusatkan. “Pencabutan dilakukan setelah evaluasi lapangan dan ditemukannya berbagai pelanggaran administratif maupun ketidaksesuaian dokumen lingkungan,” katanya. *** @andi/red
