Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Arogansi BRI Suko: Nasabah Diteror Perintah ‘Kosongkan Rumah’ hingga Jatuh Sakit, Proses Pinjaman Diduga Tanpa Akta Notaris

Editor : Dendy Prasetya | 21.00 wib
Nasabah BRI Khusnul Khotimah dan Suaminya.

SIDOARJO, newspantau.com -– Bukannya mendapat empati atau solusi atas kesulitan finansialnya, Khusnul Khotimah, nasabah BRI Unit Suko, Sidoarjo, warga Desa Durung Bedug, justru harus menelan pil pahit. Ia mengaku menjadi korban praktik penagihan yang dinilai brutal, tidak manusiawi, dan berdampak pada kondisi fisiknya hingga jatuh sakit.

Lebih ironis lagi, rangkaian tekanan ini diduga kuat berasal dari pucuk pimpinan unit tersebut: Pimpinan Cabang Suko, Sdr. Reza

Menurut keterangan Khusnul Khotimah kepada awak media pada 14 November 2025, intimidasi yang dilakukan pihak BRI Suko sudah jauh melampaui batas etika perbankan. Dengan dalih mengejar tunggakan, Khusnul mengaku menerima ucapan verbal bernada mengancam: perintah untuk “segera meninggalkan rumah”, seolah tempat tinggalnya telah disita tanpa proses hukum yang sah.

Bukan hanya itu. Ponselnya disebut berubah menjadi sumber tekanan baru. Ia mengaku mendapat panggilan berulang bernada ancaman hampir setiap hari, tanpa jeda dan tanpa empati.

Dampaknya fatal. Ini bukan sekadar penagihan, melainkan tekanan psikologis yang terstruktur. Khusnul akhirnya “drop” dan tumbang secara fisik akibat tekanan mental yang diklaim terus-menerus dilakukan pihak bank.

Selain dugaan arogansi dalam penagihan, kasus ini juga menyeret dugaan pelanggaran prosedur administrasi. Khusnul menjelaskan bahwa penandatanganan pencairan plafon pinjaman hanya dilakukan di Unit BRI Suko, tanpa disaksikan notaris dan tanpa akta kesepakatan sebagaimana lazimnya prosedur legal formal.
Kantor BRI cabang SUKO, Sidoarjo.

Saat awak media meminta klarifikasi mengenai keberadaan akta notaris tersebut, Pimpinan Cabang Suko, Sdr. Reza, tidak dapat menunjukkannya dan berdalih dokumen “masih dicarikan”. Ketidakmampuan tersebut menimbulkan tanda tanya serius mengenai validitas dokumen pinjaman yang digunakan.

Setelah kondisi nasabah memburuk dan dugaan intimidasi ini terungkap, barulah Sdr. Reza selaku pimpinan cabang buka suara. Ia mengakui adanya “kealpaan” serta menyampaikan “permohonan maaf” atas perkataan dan tindakan yang dinilai telah memengaruhi kondisi mental keluarga nasabah.

Namun, permintaan maaf ini dianggap hampa di tengah trauma yang telah dirasakan Khusnul Khotimah. Pengakuan tersebut dipandang sebagai respons reaktif ketika kasus sudah terlanjur menjadi perhatian, bukan wujud tanggung jawab yang muncul sejak awal. Pertanyaannya, apakah selembar kata “maaf” cukup untuk memulihkan  trauma, kesehatan, serta dugaan pelanggaran prosedural yang telah terjadi?

Insiden ini menjadi tamparan keras bagi BRI Pusat. Slogan “Melayani dengan Setulus Hati” terasa seperti ironi ketika di lapangan, cabangnya dinilai berperilaku layaknya rentenir yang beroperasi tanpa nurani, ditambah dugaan adanya penyimpangan administrasi. Kasus Khusnul Khotimah menuntut investigasi menyeluruh dan kemungkinan sanksi tegas dari kantor pusat untuk memastikan bahwa arogansi jabatan tidak menggantikan etika pelayanan serta kepatuhan pada prosedur hukum.  *** @dendy/red